PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh :
Nama : Pramanika Arieyantini
Nim : 20112512002
Dosen
Pengasuh : Prof. Dr. Nuraini F Kurdi
Prof. Dr. Waspodo
Dr. Somakim, M.Pd
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2011 – 2012
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Ilmu
pengetahuan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena dengan
adanya ilmu maka semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Ilmu lahir seiring
dengan adanya manusia di muka bumi hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya
muncul belakangan. Penekanan terhadap kegunaan dan aplikasi cenderung lebih
diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku secara umum terhadap
beberapa disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman,
dan pengamatan terhadap gejala-gejala alam, mulai dari manusia purba hingga
manusia modern sekalipun memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu
mereka mengarungi kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan
semakin tersusun rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
a. Apa fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan?
b. Apa beda ilmu dan pengetahuan?
c.
Bagaimanakah perkembangan ilmu
pengetahuan?
3.
Tujuan
Dari perumusan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui :
a.
Fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
b.
Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan
c. Perkembangan
ilmu pengetahuan
4. Manfaat
Dari penjelasan diatas, maka manfaat yang dapat diperoleh
dari makalah ini adalah dapat memahamami tentang:
a. Fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
b. Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan
c.
Perkembangan ilmu pengetahuan
B. PEMBAHASAN
1.
Fungsi
filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Filsafat merupakan induk atau ibu
dari semua ilmu (mater scientiarum). Pada awalnya yang pertama muncul
adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Karena
objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal
ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu
dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya
masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan
filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang
dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara
masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi
penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu
padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan
merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian
yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara
ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada
pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan
keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan
yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati
yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
Dalam perkembangan berikutnya,
filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah
merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.
Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah
menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan
filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral
dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu
sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.
2.
Perbedaan
antara ilmu dan pengetahuan
Ilmu
adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur
serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu, pengetahuan
adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik
maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa
common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu
karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada
pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan.
Uraian
singkat di atas menggiring kita pada kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ilmu
pengetahuan di sini adalah ilmu bukan pengetahuan. Ilmu beraneka-ragam.
Maskoeri Jasin membagi ilmu pengetahuan ke tiga kategori besar.
a. Ilmu Pengetahuan Sosial yang meliputi
psikologi, pendidikan, antropologi, etnologi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi.
b. Ilmu Pengetahuan Alam yang meliputi fisika,
kimia, dan biologi (botani, zoologi, morfologi, anatomi, fisiologi, sitologi,
histologi, dan palaentologi).
c. Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa yang
meliputi geologi (petrologi, vulkanologi, dan mineralogi), astronomi, dan
geografi (fisiografi dan geografi biologi).
3.
Perkembangan
ilmu pengetahuan
Secara garis besar
periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi :
a. Ilmu
Pengetahuan Zaman Purba
Terjadi
perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah,
antara lain:
Menurut George
J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada permulaan manusia.
Manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang
memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal
juga dengan masa pra-sejarah.
Menurut Soetriono dan Rita
Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum
Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka telah
mengenal membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai
berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu Mesir di Afrika, Sumeria,
Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya dan Inca di Amerika Tengah.
Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka. Meski agak berbeda dengan
pendapat tersebut.
Menurut Muhammad
Husain Haekal (1888-1956) berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban
sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah
Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang ke dalam kategori pra-sejarah. Oleh
karena itu, sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Mouly
menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai
berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran
sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi
tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan
kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan
Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak
seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang
menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang
perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi
Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara
deduktif pengalaman-pengalaman manusia. Peradaban Mesir kuno,
misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida,
kuil, dan sistem penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada
tanpa adanya ilmu yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang
menjulang tinggi dan tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari
matematika dan arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah
mereka. Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan
administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah
tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga
mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan.
Menurut Betrand
Russell, pada masa Babilonia lahir beberapa hal yang tergolong ilmu
pengetahuan: pembagian hari menjadi dua puluh empat jam, lingkaran menjadi 360
derajat, penemuan siklus gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan
bisa diramal dengan tepat dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan.
Pengetahuan bangsa Babilonia ini sampai ke tangan Thales , filosof Yunani.
Terlepas dari
perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka
bumi hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan
terhadap kegunaan dan aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya.
Teori ini berlaku secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua–
disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan pengamatan
terhadap gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu memiliki
seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan.
Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena
inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu tertentu yang
mereka miliki, maka kita akan sulit menjawab pertanyaan: mungkinkah mereka bisa
bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
b. Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani
disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan bisa
dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana
sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya.
Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat
pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga
sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa
berhutang budi padanya, termasuk juga umat Islam pada abad pertengahan masehi
bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat
Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya.
Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang
dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali
peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju
dan mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia
dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu
berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk
teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri
poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia
menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam
jagad raya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales
(624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM),
Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak
filsafat, berpendapat bahwa asal alam adalah air. Menurut Anaximandros
substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya
yang dinamakan apeiron, bukan air atau tanah. Heraklitos melihat alam semesta
selalu dalam keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah
bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang
dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan
yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa
bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur
bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa
Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu
alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung
pada pendekatan matematika. Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda
mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti
negatif, tetapi justeru merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian
pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi
terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam dan
mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka, manusia adalah
ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras (481-411 SM), tokoh
utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal humanisme. Menurutnya,
kebenaran bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang
absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap
teori matematika mempunyai kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias
(483-375 SM). Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber
ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal
kita telah diperdaya oleh dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum
sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka
tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof
setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles
(384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada
manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan menggunakan
metode yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan.
Menurutnya, kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai
realitas yang ada di alam idea. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan
sudah ada di alam idea. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan
Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada hal
yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan
politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di
kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu karena mampu meletakkan
dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Karena demikian meresapnya
serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles, A.N. Whitehead
memberikan catatan bahwa segenap filsafat sesudah masa hidup keduanya
sesungguhnya merupakan usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran mereka.
Pendapat Whitehead tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain
mengembangkan filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa
persoalan filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
c. Ilmu Pengetahuan Zaman Islam
Sejak awal kelahirnnya, Islam sudah memberikan penghargaan yang
begitu besar kepada ilmu. Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk
memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Quran dan bimbingan Nabi Muhammad SAW
mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah
SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga al-“Alim dan ‘Alim
yang artinya “Yang Mengetahui” atau “Yang Maha Tahu”. Ilmu adalah salah satu
dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif
serta bisa digunakan untuk menerangkan Allah SWT.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat
Al-Qur'an yang paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran
Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang ilmu antara lain memberi
kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam
Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu
dalam menghadapi suatu situasi di mana mereka hidup, dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, generasi pada masa Nabi Muhammad
SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam yang disampaikan
oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang amat luas
setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada
generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi
dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh
Nabi SAW.
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan
turunnya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam
diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang
telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru yang lebih bercorak
intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in)
karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan
sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut.
Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat
Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya langsung, jelas, dan merujuk pada
situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau
masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya
disebut metode kias atau penalaran analogis.
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling
awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk
keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist
pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan alasan yang
berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu
yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa
kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin
menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang
ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena
itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu keharusan untuk
dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin
bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang
mereka taklukkan. Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan
kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik
(Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di
lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah
mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya
semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang
ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang
naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu
pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan
bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta
berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia
dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu
pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang
persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya
masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut Halaqat Al
Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al Riyadiyat,
Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku
bangsa yang datang ke pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan
dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan
formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal
yang disebut Ma’ahid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah
lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan dan
disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para
sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan
umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum
muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya.
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam
adalah: ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu
tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang
bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu 'aqli atau
ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu
farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang
Arab maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan
ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya
yang tidak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai
astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (wafat 847M) adalah
salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal
sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi
(wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah
"bapak" ilmu kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam
(wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu
Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah
nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk
kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi
pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim
pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar
muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan
yang diberikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau
Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah melahirkan ilmu pengetahuan
yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari pemikiran dan khazanah
ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.
d. Ilmu Pengetahuan Zaman Kontemporer
Perbedaan antara zaman modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman modern
adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan
zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang terjadi hingga
sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini meliputi hampir seluruh bidang ilmu
dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi,
ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan
biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika,
informasi, dan komunikasi. Zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi,
dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial,
eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya, sementara inovasi-inovasi
teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati
sekarang ini. Teknologi merupakan buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
dikembangkan dari generasi ke generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan
dari perkembangan listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday
belum diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh
penemuan radio, televisi, dan komputer. Dari komputer berkembang ke PC (private
computer), lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal
digital assistans). Semua contoh ini merupakan bukti bahwa penemuan teknologi
sebagai buah perkembangan ilmu masih berkaitan dengan penemuan-penemuan
sebelumnya yang kemudian dikembangkan dengan ukuran fisik yang semakin kecil,
tetapi memiliki beragam keunggulan yang lebih besar.
Salah satu hasil teknologi yang menakjubkan dan kontroversial adalah teknologi
rekayasa genetika yang berupa teknologi kloning. Dr. Gurdon dari Universitas
Cambridge adalah orang pertama yang melakukan teknologi ini pada tahun 1961.
Gurdon berhasil memanipulasi telur-telur katak sehingga tumbuh menjadi kecebong
kloning. Pada tahun 1993, Dr. Jerry Hall berhasil mengkloning embrio manusia
dengan teknik pembelahan. Pada tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan
kloning mamalia pertama dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada
tahun yang sama lahir lembu kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun
1998, para peneliti di Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko
Wakayama berhasil melakukan kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima
generasi. Pada tahun 2000, Prof. Gerald Schatten berhasil membuat kera kloning
yang diberi nama Tetra. Setelah berbagai keberhasilan teknik kloning yang
pernah dilakukan, para ahli malah lebih berencana menerapkan teknik kloning
pada manusia.
C.
PENUTUP
Secara
umum, makalah ini menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan mengiringi
setiap kehidupan manusia. Mulai dari zaman manusia purba hingga zaman modern
sekarang sekalipun, manusia selalu berusaha menemukan, memperbaiki dan
mengembangkan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan yang belum ada ataupun yang
memang sudah ada.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Naqib. 2005. “Sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman
Islam Klasik”. http://ngbmulty.multiply.com/journal/item/38
Sakwati, Monalia.
2011. “Perkembangan Ilmu Pengetahuan”. http://monaliasakwati.blogspot.com/2011/03/perkembangan-ilmu-pengetahuan.html#ixzz1c66OMPlt
Zamzani, M. Subhan. 2010. “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan” http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/11/11/sejarah-perkembangan-ilmu-pengetahuan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar