Kamis, 10 Januari 2013

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh                        :
Nama                      : Pramanika Arieyantini
Nim                        : 20112512002

 PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
2011 – 2012

A.   PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena dengan adanya ilmu maka semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap kegunaan dan aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku secara umum terhadap beberapa disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan pengamatan terhadap gejala-gejala alam, mulai dari manusia purba hingga manusia modern sekalipun memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
a.       Apa fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan?
b.      Apa beda ilmu dan pengetahuan?
c.       Bagaimanakah perkembangan ilmu pengetahuan?

3.      Tujuan
Dari perumusan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
a.       Fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
b.      Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan
c.       Perkembangan ilmu pengetahuan

4.      Manfaat
Dari penjelasan diatas, maka manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah dapat memahamami tentang:
a.       Fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
b.      Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan
c.       Perkembangan ilmu pengetahuan

B.   PEMBAHASAN
1.      Fungsi filsafat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus.  Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.  Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral.   Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.

2.      Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan.
Uraian singkat di atas menggiring kita pada kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan di sini adalah ilmu bukan pengetahuan. Ilmu beraneka-ragam. Maskoeri Jasin membagi ilmu pengetahuan ke tiga kategori besar.
a.        Ilmu Pengetahuan Sosial yang meliputi psikologi, pendidikan, antropologi, etnologi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi.
b.       Ilmu Pengetahuan Alam yang meliputi fisika, kimia, dan biologi (botani, zoologi, morfologi, anatomi, fisiologi, sitologi, histologi, dan palaentologi).
c.        Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa yang meliputi geologi (petrologi, vulkanologi, dan mineralogi), astronomi, dan geografi (fisiografi dan geografi biologi).

3.      Perkembangan ilmu pengetahuan
Secara garis besar periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi :
a.       Ilmu Pengetahuan Zaman Purba
Terjadi perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah, antara lain:
*      Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada permulaan manusia. Manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah.
*      Menurut Soetriono dan Rita Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka telah mengenal membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka pun mulai berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu Mesir di Afrika, Sumeria, Babilonia, Niniveh, dan Tiongkok di Asia, Maya dan Inca di Amerika Tengah. Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka. Meski agak berbeda dengan pendapat tersebut.
*      Menurut Muhammad Husain Haekal (1888-1956) berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang ke dalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu, sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
*      Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia. Peradaban Mesir kuno, misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada tanpa adanya ilmu yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari matematika dan arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah mereka. Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan.
*      Menurut Betrand Russell, pada masa Babilonia lahir beberapa hal yang tergolong ilmu pengetahuan: pembagian hari menjadi dua puluh empat jam, lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan siklus gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramal dengan tepat dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa Babilonia ini sampai ke tangan Thales , filosof Yunani.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap kegunaan dan aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua– disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan pengamatan terhadap gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu tertentu yang mereka miliki, maka kita akan sulit menjawab pertanyaan: mungkinkah mereka bisa bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
b.      Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani disebutkan, maka yang terbesit di pikiran para peminat kajian keilmuan bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa berhutang budi padanya, termasuk juga umat Islam pada abad pertengahan masehi bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji dan mengembangkan warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju dan mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam adalah air. Menurut Anaximandros substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air atau tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika. Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka, manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras (481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM). Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal kita telah diperdaya oleh dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama, dan metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof setelahnya seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang ada di alam idea. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap sebagai bapak ilmu karena mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Karena demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap filsafat sesudah masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan usulan-usulan belaka terhadap ajaran-ajaran mereka. Pendapat Whitehead tidak seluruhnya benar karena umat Islam, misalnya, selain mengembangkan filsafat mereka, mereka juga melakukan inovasi di beberapa persoalan filsafat Yunani sehingga memiliki karakteristik islami.
c.       Ilmu Pengetahuan Zaman Islam
Sejak awal kelahirnnya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Quran dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga al-“Alim dan ‘Alim yang artinya “Yang Mengetahui” atau “Yang Maha Tahu”. Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan Allah SWT.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bah­wa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan uta­ma hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerang­kan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, ge­nerasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi se­mangat itu baru menampakkan dampak yang amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in) karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya langsung, jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. De­ngan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan fil­safat merupakan suatu keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembang­an tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut Halaqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al Riyadiyat, Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Ma’ahid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya.
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu ter­sebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehing­ga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan il­mu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu 'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pe­ngembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang ti­dak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Mu­hammad ar-Razi (wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.
d.      Ilmu Pengetahuan Zaman Kontemporer
Perbedaan antara zaman modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini meliputi hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya, sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh penemuan radio, televisi, dan komputer. Dari komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans). Semua contoh ini merupakan bukti bahwa penemuan teknologi sebagai buah perkembangan ilmu masih berkaitan dengan penemuan-penemuan sebelumnya yang kemudian dikembangkan dengan ukuran fisik yang semakin kecil, tetapi memiliki beragam keunggulan yang lebih besar.
Salah satu hasil teknologi yang menakjubkan dan kontroversial adalah teknologi rekayasa genetika yang berupa teknologi kloning. Dr. Gurdon dari Universitas Cambridge adalah orang pertama yang melakukan teknologi ini pada tahun 1961. Gurdon berhasil memanipulasi telur-telur katak sehingga tumbuh menjadi kecebong kloning. Pada tahun 1993, Dr. Jerry Hall berhasil mengkloning embrio manusia dengan teknik pembelahan. Pada tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan kloning mamalia pertama dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada tahun yang sama lahir lembu kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun 1998, para peneliti di Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko Wakayama berhasil melakukan kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima generasi. Pada tahun 2000, Prof. Gerald Schatten berhasil membuat kera kloning yang diberi nama Tetra. Setelah berbagai keberhasilan teknik kloning yang pernah dilakukan, para ahli malah lebih berencana menerapkan teknik kloning pada manusia.



C.   PENUTUP
Secara umum, makalah ini menjelaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan mengiringi setiap kehidupan manusia. Mulai dari zaman manusia purba hingga zaman modern sekarang sekalipun, manusia selalu berusaha menemukan, memperbaiki dan mengembangkan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan yang belum ada ataupun yang memang sudah ada.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar